Hakekat Pemilu
Jumat, Maret 28, 2014
Reading
Add Comment
Indonesia sebagai negara yang menerapkan sistem
demokrasi tidak terlepas dari penerapan Pemilihan Umum (Pemilu) untuk memilih
seseorang menempati posisi struktural (Presiden, wakil rakyat di lembaga
legislatif, maupun kepala daerah). Oleh karena itu Pemilu menjadi sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Widarti,dkk.2009:1).
Ini selaras dengan tujuan Pemilu yaitu sebagai salah satu pembelajaran politik
dimana “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan
umum berdasarkan persamaan hak.” Pasal 43 Ayat (1) UU 39/1999. Terhitung sejak
1955 hingga 2009, Indonesia tercatat telah melalui sepuluh kali Pemilu (1955,
1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004,2009) (KPU,2012:49).
Melihat dari sudut pandang sejarah, demokrasi
berasal dari zaman Yunani kuno, ketika itu pada masa John Lock yang kita kenal
sekarang sebagai bapak demokrasi. Ketika itu dimulai-lah aktivitas untuk
memilih pemimpin pada suatu kaum. Pada era tersebut sistem pemilihan yang
dilakukan berbentuk musyawarah mufakat, dimana hanya laki-laki dewasa-lah yang
diberi hak untuk memilih pemimpin, sedangkan perempuan dan buruh tidak memiliki
hak memilih. Kemudian pada era modern, muncul ungkapan “demokrasi dari rakyat
oleh rakyat dan untuk rakyat” dari salah satu Presiden Amerika Serikat yang
bernama Abraham Linclon. Demokrasi ternyata sangat berkembang pesat di negara
Adidaya tersebut, hingga menjadikan Amerika Serikat sebagai negara dengan
sistem demokrasi yang berhasil. Lalu pada tahun 1955 pertama kalinya bangsa
Indonesia menyelenggarakan Pemilu sebagai alat berdemokrasi yang sah dan di atur
dalam Undang-undang. Namun sayangnya dalam perjalanan demokrasi di Negara kita,
banyak masalah bermunculan, mulai dari Pemilu yang penuh kecurangan, kisruh
DPT, calon-calon yang tidak berkualitas, hingga isu Korupsi Kolusi dan
Nepotisme (KKN). Masalah-masalah tersebut menjadikan trauma dimasyarakat, angka
GOLPUT yang semakin naik dan masyarakat yang apatis terhadap politik menjadikan
legitimasi pemimpin yang terpilih sangat-lah rendah.
Menurut Panjaitan Dosen Universitas Kristen
Indonesia mengungkapkan bahwa Demokrasi tidak akan berjalan lancar ketika
diterapkan di Negara yang miskin dan negara berkembang, beliau beralasan ketika
masyarakat tidak terpenuhi kehidupan dasarnya maka tidak akan mungkin mereka
memikirkan untuk memberikan hak suaranya. Padahal ketika kita menarik benang
merah, politik merupakan hal terpenting yang ada disegala aspek kehidupan dalam
bernegara, sebagai contoh mengapa pendidikan masih mahal ? karena kebijakan
dari elit politik yang menjadikan pendidikan masih mahal, contoh yang lebih
sederhana, ketika kita menyuarakan argumen kita dikelas, itu juga politik,
dimana kita menghargai hak orang lain untuk berpendapat, politik adalah
keseharian kita, dimana tanpa sadar kita-lah aktor politik meski dalam lingkup
yang sempit.
Ketika ada sebuah pertanyaan mengapa kita harus
memilih ? dan kenapa kita tidak boleh GOLPUT ? maka jawaban yang paling sesuai
adalah kita harus mengetahui terlebih dahulu hakekat memilih dan alasan kita
untuk memilih. Sistem demokrasi tidak akan berjalan kalau hanya lewat teori,
salah satu unsur terpenting dari demokrasi adalah partisipasi masyarakat.
Dimana partisipasi merupakan kebutuhan utama dari pemilu. Partisipasi sendiri
dibagi menjadi dua bagian, pertama partisipasi konvensional yaitu lewat pemilu
dan yang kedua partisipasi non-konvensional seperti unjuk rasa atau demo dan
lain-lain.
Menjadi
Pemilih yang cerdas, berarti harus kita mulai dari mengenal calon yang akan
kita pilih, kita tidak ingin seperti membeli kucing dalam karung, namun, tidak
hanya cukup dengan mengenal, kita harus melihat track record (rekam jejak) dari para calon, mulai dari background
pendidikan hingga kompetensi yang dimiliki. Sebenarnya menjadi dilema ketika
faktanya data dari KPU menyatakan 90%
calon legislatif yang akan bertarung di Pemilu 2014 adalah calon
incumbent (orang yang sekarang masih duduk di Parlemen). Kenyataannya sangat
sulit mengubah nasib bangsa ini ketika kita hanya berharap pada 10 % orang baru
yang mempunyai gagasan yang fresh. Namun, kita haruslah optimis, lewat Pemilu inilah
aspirasi dan keinginan masyarakat terakomodir untuk diteruskan menjadi
kebijakan-kebijakan yang pro rakyat.
Dari beberapa ahli menjelaskan ada 3 sudut pandang
dalam berpolitik, yang pertama adalah sudut pandang sosiologis, dimana masyarakat memilih karena ada kesamaan suku,
ras, agama dan kesamaan daerah. Yang kedua adalah sudut pandang psikologis, yaitu masyakat memilih
karena melihat track recod nya, melihat visi misi dan progam dari calon yang
akan dipilih.. ketiga adalah masyarakat dengan
sisi rational choice itu ialah masyarakat yg memilih memperhitungkan apa yang
ia dapat dan apa yg diberi.
Dengan melihat berbagai kondisi
yang ada, sebenarnya kita sebagai pemilih muda mempunyai kesempatan untuk
mengubah bangsa ini, data dari KPU menyatakan bahwa 30% dari jumlah DPT adalah
pemilih muda dan pemilih pemula, apabila para pemilih muda mendapatkan
pendidikan politik yang baik dan berkualitas, bukan tidak mungkin akan ada
perubahan besar di Pemilu 2014.
Akhirnya menjadi pemilih cerdas
berarti mampu mencerdaskan orang lain, kita berkesempatan untuk membagi
pengetahuan kita tentang politik kepada masayarakat secara lebih luas, ketika
kita memberikan suara kita, berarti kita juga berhak untuk meminta
pertanggungjawaban atas calon atau pemimpin yang kita pilih. Analoginya ketika
kita mengikuti seminar, maka berhak mendapat sertifikat begitupun sebaliknya.
Jadikan pemilu 2014 ini menjadi ajang yang kompetitif, dimana pertarungan
gagasan dan progam lebih diutamakan daripada kemasan dan popularitas yang
klise. #DiponegoroMemilih #WaniNyoblos
Oleh : M. Aulia Fachrudin Eksekutif Muda Divisi Kajian strategis SOSPOL BEM KM UNDIP 2014
0 komentar:
Posting Komentar