Hakekat Pemilu


Indonesia sebagai negara yang menerapkan sistem demokrasi tidak terlepas dari penerapan Pemilihan Umum (Pemilu) untuk memilih seseorang menempati posisi struktural (Presiden, wakil rakyat di lembaga legislatif, maupun kepala daerah). Oleh karena itu Pemilu menjadi sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Widarti,dkk.2009:1). Ini selaras dengan tujuan Pemilu yaitu sebagai salah satu pembelajaran politik dimana “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak.” Pasal 43 Ayat (1) UU 39/1999. Terhitung sejak 1955 hingga 2009, Indonesia tercatat telah melalui sepuluh kali Pemilu (1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004,2009) (KPU,2012:49).
Melihat dari sudut pandang sejarah, demokrasi berasal dari zaman Yunani kuno, ketika itu pada masa John Lock yang kita kenal sekarang sebagai bapak demokrasi. Ketika itu dimulai-lah aktivitas untuk memilih pemimpin pada suatu kaum. Pada era tersebut sistem pemilihan yang dilakukan berbentuk musyawarah mufakat, dimana hanya laki-laki dewasa-lah yang diberi hak untuk memilih pemimpin, sedangkan perempuan dan buruh tidak memiliki hak memilih. Kemudian pada era modern, muncul ungkapan “demokrasi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat” dari salah satu Presiden Amerika Serikat yang bernama Abraham Linclon. Demokrasi ternyata sangat berkembang pesat di negara Adidaya tersebut, hingga menjadikan Amerika Serikat sebagai negara dengan sistem demokrasi yang berhasil. Lalu pada tahun 1955 pertama kalinya bangsa Indonesia menyelenggarakan Pemilu sebagai alat berdemokrasi yang sah dan di atur dalam Undang-undang. Namun sayangnya dalam perjalanan demokrasi di Negara kita, banyak masalah bermunculan, mulai dari Pemilu yang penuh kecurangan, kisruh DPT, calon-calon yang tidak berkualitas, hingga isu Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Masalah-masalah tersebut menjadikan trauma dimasyarakat, angka GOLPUT yang semakin naik dan masyarakat yang apatis terhadap politik menjadikan legitimasi pemimpin yang terpilih sangat-lah rendah.
Menurut Panjaitan Dosen Universitas Kristen Indonesia mengungkapkan bahwa Demokrasi tidak akan berjalan lancar ketika diterapkan di Negara yang miskin dan negara berkembang, beliau beralasan ketika masyarakat tidak terpenuhi kehidupan dasarnya maka tidak akan mungkin mereka memikirkan untuk memberikan hak suaranya. Padahal ketika kita menarik benang merah, politik merupakan hal terpenting yang ada disegala aspek kehidupan dalam bernegara, sebagai contoh mengapa pendidikan masih mahal ? karena kebijakan dari elit politik yang menjadikan pendidikan masih mahal, contoh yang lebih sederhana, ketika kita menyuarakan argumen kita dikelas, itu juga politik, dimana kita menghargai hak orang lain untuk berpendapat, politik adalah keseharian kita, dimana tanpa sadar kita-lah aktor politik meski dalam lingkup yang sempit.
Ketika ada sebuah pertanyaan mengapa kita harus memilih ? dan kenapa kita tidak boleh GOLPUT ? maka jawaban yang paling sesuai adalah kita harus mengetahui terlebih dahulu hakekat memilih dan alasan kita untuk memilih. Sistem demokrasi tidak akan berjalan kalau hanya lewat teori, salah satu unsur terpenting dari demokrasi adalah partisipasi masyarakat. Dimana partisipasi merupakan kebutuhan utama dari pemilu. Partisipasi sendiri dibagi menjadi dua bagian, pertama partisipasi konvensional yaitu lewat pemilu dan yang kedua partisipasi non-konvensional seperti unjuk rasa atau demo dan lain-lain.
Menjadi Pemilih yang cerdas, berarti harus kita mulai dari mengenal calon yang akan kita pilih, kita tidak ingin seperti membeli kucing dalam karung, namun, tidak hanya cukup dengan mengenal, kita harus melihat track record (rekam jejak) dari para calon, mulai dari background pendidikan hingga kompetensi yang dimiliki. Sebenarnya menjadi dilema ketika faktanya data dari KPU menyatakan 90%  calon legislatif yang akan bertarung di Pemilu 2014 adalah calon incumbent (orang yang sekarang masih duduk di Parlemen). Kenyataannya sangat sulit mengubah nasib bangsa ini ketika kita hanya berharap pada 10 % orang baru yang mempunyai gagasan yang fresh. Namun, kita haruslah optimis, lewat Pemilu inilah aspirasi dan keinginan masyarakat terakomodir untuk diteruskan menjadi kebijakan-kebijakan yang pro rakyat.
Dari beberapa ahli menjelaskan ada 3 sudut pandang dalam berpolitik, yang pertama adalah sudut pandang sosiologis, dimana masyarakat memilih karena ada kesamaan suku, ras, agama dan kesamaan daerah. Yang kedua adalah sudut pandang psikologis, yaitu masyakat memilih karena melihat track recod nya, melihat visi misi dan progam dari calon yang akan dipilih.. ketiga adalah masyarakat dengan sisi rational choice itu ialah masyarakat yg memilih memperhitungkan apa yang ia dapat dan apa yg diberi.
Dengan melihat berbagai kondisi yang ada, sebenarnya kita sebagai pemilih muda mempunyai kesempatan untuk mengubah bangsa ini, data dari KPU menyatakan bahwa 30% dari jumlah DPT adalah pemilih muda dan pemilih pemula, apabila para pemilih muda mendapatkan pendidikan politik yang baik dan berkualitas, bukan tidak mungkin akan ada perubahan besar di Pemilu 2014.

Akhirnya menjadi pemilih cerdas berarti mampu mencerdaskan orang lain, kita berkesempatan untuk membagi pengetahuan kita tentang politik kepada masayarakat secara lebih luas, ketika kita memberikan suara kita, berarti kita juga berhak untuk meminta pertanggungjawaban atas calon atau pemimpin yang kita pilih. Analoginya ketika kita mengikuti seminar, maka berhak mendapat sertifikat begitupun sebaliknya. Jadikan pemilu 2014 ini menjadi ajang yang kompetitif, dimana pertarungan gagasan dan progam lebih diutamakan daripada kemasan dan popularitas yang klise. #DiponegoroMemilih #WaniNyoblos 

Oleh : M. Aulia Fachrudin Eksekutif Muda Divisi Kajian strategis  SOSPOL BEM KM UNDIP 2014

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram