Transformasi Kepemimpinan

   Bangsaku berdaulat , Bangsaku kuat, bangsaku Sejahtera. Tertulis ungkapan semangat untuk terus berjuang dalam dunia yang penuh kompleksitas permasalahan. Begitu lancar ketika kita diminta untuk menjelaskan apa yang kurang di negeri ini, mulai dari pendidikan yang mahal, kemiskinan yang kian bertambah, rakyat yang hidup dikolong jembatan, anak-anak yang menangis karena lapar, ibu-ibu yang menjadi buruh cuci, bapak-bapak yang berkeluh keringat memungut sampah dari kehidupan yang sangat timpang. Kadang terfikir, mengapa negeri sebesar dan sekaya ini begitu susah payah merawat rakyatnya, apa karena dana yang kurang cukup? Aku rasa tidak, karena para elit politik berlomba-lomba merampok untuk memperkaya diri sendiri. Apa karena kurangnya rasa peduli? Aku rasa tidak, karena mereka selalu menjadi malaikat ketika membutuhkan suara rakyat, berpura-pura atau nyata, aku pun bingung untuk menjawabnya, yang aku tahu rakyat di negeri ini sedang berjuang sendiri-sendiri.
   Negeri ini memiliki banyak kelompok yang mengatasnamakan rakyat, rakyat yang mana aku juga tidak tahu, karena terlalu pudar dan kabur dalam pandangan . Mereka yang diberikan gelar wakil rakyat memang benar-benar mewakili rakyat. Rakyat ingin hidup sejahtera, mereka mewakilkannya dengan hidup penuh kecukupan, rakyat ingin naik mobil, mereka mewakilkannya untuk naik mobil mewah, rakyat ingin ke luar negeri, mereka mewakilkannya dengan jalan-jalan ke luar negeri. Jika makna wakil hanya sebatas itu, aku jadi tidak heran akan tingkah para pengejar kekuasaan di negeri ini.
   Saya menulis surat ini dengan kerendahan hati, sebagai ekspresi kegelisan yang saya alami sebagai anak muda, sebagai warga negara Indonesia. yang dalam catatan sejarah anak muda selalu menjadi motor penggerak bagi perubahan. Berbicara soal pemimpin, ada makna yang berbeda antara pemimpi dan pemimpin, jika pemimpi hanya berangan, berencana, sedangkan pemimpin itu memiliki angan, rencana dan berani untuk melakukakannya. Secara kodrat manusia adalah seorang pemimpin, minimal memimpin dirinya sendiri. Pemimpin bukan soal ia lahir dengan keturuan bangsawan atau saudagar sukses lantas ia akan jadi pemimpin hebat, pemimpin adalah soal keberlanjutan, proses memantaskan diri, dimana pengalaman hidup akan menempanya menjadi seorang sutradara sekaligus aktor besar dalam merangkai dan menyusun sebuah cerita yang berakhir bahagia.
   Akhir-akhir ini kita sering memperdebatkan sosok pemimpin yang seperti apakah yang dibutuhkan oleh negara kita. Kita bisa menemukan berbagai referensi sosok pemimpin dari jutaan buku yang tersedia ditoko, jutaan pandangan ahli dan pakar. Namun, sosok seperti apakah yang benar-benar dibutuhkan oleh negeri ini? Mari sejenak kita menjernihkan pikiran, negeri ini tak ada habisnya memproduksi orang-orang yang berkualitas dan teruji. Setiap tahunnya kita mampu menjuarai olimpiade internasional, dari sabang sampai merauke tak pernah habis pahlawan bangsa hadir menawarkan gagasan terbaik untuk mengelola negeri ini.
Namun mengapa kita masih tak bisa berdiri tegak sebagai bangsa yang merdeka ? sebagai bangsa yang berdaulat ? sebagai bangsa yang adil dan makmur. Ternyata kita tidak sadar, bahwa kita sedang terlena akan semua pencapaian fisik dan raga. Kita lupa bahwa mental dan karakter rakyat Indonesia adalah hal yang tak kalah penting untuk dimiliki. Banyak permasalahan terjadi bukan karena kurangnya ilmu pengetahuan dan kemampuan, namun karena runtuhnya fondasi karakter. Keseimbangan antara spiritual, emosional dan intelektual lambat laun ditinggalkan.
   Mentransformasi Karakter, adalah sebuah gagasan yang beberapa kali dituangkan, betapa pentingnya membangun jiwa dan karakter rakyat Indonesia itu sendiri. Kata mentransformasi bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, membutuhkan proses dan keberlanjutan, bahwa kita ingin bersama-sama menyelesaikan satu per satu masalah yang ada di negeri ini. Kita membutuhkan lebih banyak pemuda untuk ikut berperan dan bertindak. Pendidikan adalah salah satu cara terbaik melawan kemiskinan dan untuk mengubah nasib, saya berharap pendidikan yang benar-benar tersistematis dan konstruktif. Pendidikan yang mengutamakan nilai-nilai agama dan pancasila. Pancasila harus menjadi darah daging dan keseharian kita, lihatlah bagaimana keadaan pemimpin kita saat ini, para elit politik meninggalkan nilai-nilai pancasila yang merupakan spirit pemersatu dan ideologi bangsa, kita sering kepagian mendahului zaman, tapi kemudian terkejar oleh bangsa lain karena elite kita menjadi Brahma pada awalnya tapi langsung dihancurkan oleh Qiwa kedengkian dan kebencian terhadap kinerja elite lawan politik yang lebih hebat. Tidak ada sportivitas atau jiwa ksatria untuk mengakui kelebihan lawan secara jantan. Sportifitas dalam politik entah hilang kemana, agaknya menjadi sebuah permasalahan yang turun – temurun menghinggapi para elite. Secara populer, elite Indonesia belum lepas dari hierarki Maslow tentang kebutuhan manusia. Elite yang seharusnya menjadi negarawan besar setelah jadi politisi sukses masih terjebak dalam hierarki paling rendah Maslow, masih berkutat soal eksistensi, survival, sesuap nasi, harta, material, dan berbagai hal duniawi. Sedangkan negarawan harus mempunyai kepentingan menyukseskan idealisme, cita- cita, visi dan misinya tentang bagaimana suatu nation state dapat maju sebagai suatu kesatuan yang tidak mudah kalah dalam persaingan dan percaturan global. Elite yang baik adalah yang memberdayakan dan menjadikan rakyat belajar dari masa lalu untuk mengawasi pemimpinnya agar tidak mengulangi kesalahan yang lalu berulang kali karena tidak pernah mendalami sejarah. Apa yang bisa kita ambil hikmah dari perang Pangeran Diponegoro ? seorang pemberontak biasa yang terdorong oleh nafsu meraih untung atau ambisi ? Apakah fanatisme tak beralasan yang membuatnya mengibarkan panji-panji pemberontakan ? Saya percaya, saya akan dibenarkan jika meniadakan pertanyaan ini. Ada tugas mulia yang harus dilakukan. Ia merasa ditakdirkan untuk melaksanakan tugas itu, dengan energi dan kegigihan yang luar biasa, ia mengikuti arah takdirnya. Ia memang gagal, tapi saya pikir kita tidak  boleh menilai kerja orang semata karena keberhasilannya. Disamping itu, memang bukan maksud saya menilai ketangguhan pangeran Diponegoro. Saya hanya menunjukkan bahwa kebalikan dengan apa yang di percaya beberapa orang, orang Indonesia itu sebenarnya punya dasar etika yang dalam, suatu dasar untuk membangun sumber moral yang mestinya membuat kita jadi optimis akan kemungkinan bangkitnya. zaman keemasan kita. Masyarakat baru yang kita sedang susun itu, tak mungkin kekal kalau kita tidak mencapai kemenangan akhir, karena itu marilah kita taruhkan perjuangan ini sampai ke ujung-ujungnya, tahanlah menderita, tahanlah kesukaran. kemenangan kita tidak dapat kita capai diatas kasur bantalnya kesenangan, kemenangan kita itu hanyalah bisa dicapai didalam api unggunya perjuangan yang terus-menerus.
   Kita merindukan sosok pemimpin yang tumbuh bersama rakyat, yang tidak sungkan membalas ketika disapa, yang menjawab setiap permasalahan dengan penuh tanggungjawab dan kesungguhan. Saat ini adalah momentum yang baik untuk memilih pemimpin mana yang dibutuhkan oleh negeri ini. Setiap orang berhak dan bebas menentukan pilihannya. mencari sosok yang ideal adalah soal persepsi, namun, cobalah kita renungkan kembali, presiden mungkin adalah bagian kecil dari Indonesia, kitalah pemimpin – pemimpin muda yang harus ikut berperan dan bergerak, melunasi janji dari para pahlawan yang dengan bersimpah darah mengorbankan jiwa dan raga untuk Indonesia. Mari memandang masa depan Indonesia dengan optimisme, belajar dari sejarah masa lampau, demi Indonesia yang Menginspirasi rakyatnya, menginspirasi para pemimpinnya, menginspirasi bangsa lainnya.
#M.Aulia Fachrudin#Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UNDIP 2013#

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram