Presidensial yang Formalitas

Tahun 2014 menjadi momentum yang sangat penting bagi kelangsungan Bangsa kita. Pergantian gelombang politik akan menjadi tema besar yang akan kita bahas sepanjang  tahun, mulai dari pergantian DPR tingkat kota, provinsi hingga pusat, dan yang tak kalah seksi adalah pergantian Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.

Sejarah menjelaskan bahwa bangsa kita mengalami beberapa perubahan sistem ketatanegaraan, mulai dari sistem presidensial pada awal kemerdekaan, kemudian tiba-tiba berubah menjadi Konstitusi RIS yang menjadikan Negara kita menganut sistem parlementer meski tak sampai 8 bulan diterapkan. Di era reformasi ini, sistem pemerintahan kita kembali pada sistem presidensial, dimana presiden mempunnyai hak prerogatif dan kuat untuk menentukan kebijakan. Presiden dibantu oleh para mentri yang bertanggungjawab langsung pada presiden, hal ini termaktub dalam UUD 1945 pasal 17.

Realita politik saat ini tak lagi sejalan dengan makna presidensial secara substantif. Karena begitu kuatnya peran parlemen . terbentuknya koalisi-koalisi dagang sapi, koalisi yang tak lebih dari sebuah tradisi bagi-bagi kekuasaan. Padahal di sistem presidensial tidak ada istilah koalisi maupun oposisi. Inilah mengapa saya menganggap bahwa presidensial dewasa ini adalah presidensial formalitas.

Ketika kita membandingkan sistem ketatanegaraan negara-negara lain, sebenarnya tidak semua negara mengaplikasikan sistem presidensial maupun sistem parlementer secara penuh. Seperti contoh negara prancis yang justru menggabungkan kedua sistem tersebut. Lalu bagaimana dengan Indonesia ? dan apa solusi dari ketidakjelasan sistem ketatanegaraan yang kita pilih, yang akhirnya berdampak pada pemerintahan yang kurang stabil dan lemah dalam diplomasi antar lembaga.

Dalam menyikapi hal tersebut, saya berpandangan bahwa problem mendasar kita adalah banyaknya partai politik yang ada, sehingga memunculkan paradigma dan stigma negatif bahwa kekuasaan harus dibagi-bagi serta menjadikan ketidakselarasan dalam setiap penentuan kebijakan publik. Ide penyederhanaan partai politik merupakan thesis yang solutif, dimana idealnya partai politik di Indonesia jumlahnya paling tidak 5 partai. Hal ini kemudian akan berdampak pada pembentukan pemerintahan yang stabil dan kuat, sehingga akan konsisten untuk mencapai tujuan bersama, menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang sejahtera.

Menyederhanakan partai politik bukan berarti memberangus hak-hak minoritas atau bahkan menutup kebebasan, banyak negara di dunia ini menerapkan electoral treshold sebesar 7,5 % bandingkan dengan negara kita yang hanya berkisar 3,5%, alhasil setiap pemilu datang masih banyak partai politik yang mengisi kertas suara.

Akhirnya, maka dari itu sistem presidensial harus kita kembalikan pada jalur yang sebenarnya, agar tercipta kestabilan pemerintahan dan kelancaran setiap kebijakan publik yang diambil. Penyederhanaan partai politik adalah salah satu cara untuk menghasilkan pemerintahan yang kuat dan ideal yang tentunya akan membuat kejelasan kemana arah pembangunan negara ini setiap periodenya.

Oleh : M Aulia Fachrudin #Ilmu Pemerintahan UNDIP 2013

0 komentar:

Posting Komentar

My Instagram